Senin, 28 April 2014

Praktik Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional di Berbagai Negara

Penyelenggaraan jaminan sosial, khususnya JKN, di berbagai negara sangat bergantung dari latar belakang sistem politik, sosial, dan ekonomi suatu negara. Namun demikian, ada pola-pola umum yang daapat diamati karena sessungguhnya ada prinsip universal yang berlaku di dunia. Secara umum, Schieber (2007) menggambarkan opsi atau variasi praktik penyelenggaraan JKN oleh badan social insurance atau sicknes fund terpisah dari private insurance. Sumber dana dari JKN berasal dari tiga sumber yaitu alokasi Kementrian Keuangan (Ministry of Finance), kontribusi wajib majikan (employers/private firms) dan kontribusi wajib perorangan/ rumah tangga. Schieber membedakan kontribusi dengan premiums yang merupakan istilah yang umum digunakan untuk sejumlah uang atau harga pembelian (bukan kontribusi/iuran wajib) polis asuransi kesehatan swasta yang bersifat sukarela. Hanya saja, Schieber tidak menjelaskan bentuk badan hukum social insurance atau sickness funds. Namun demikian, jika digali lebih dalam dari berbagai literatur, maka bentuk badan hukum sickness funds adalah badan hukum khusus (public entities) yang tidak memiliki pemegang saham dan mempunyai otonomi manajemen sebagaimana sebuah perusahaan (perseroan terbatas/PT, limited liability company/Ltd, berhad/bhd, atau Gmbh di Jerman). Semua organisasi atau badan hukum publik yang khusus hanya menyelenggarakan asuransi sosial bertujuan memaksimalkan manfaat untuk peserta, bukan untuk mencari laba (not for profit) bagi pemegang saham tertentu. Bentuk inilah yang dikenal sebagai organasi nirlaba atau dalam literatur bahasa Inggris dikenal dengan non profit atau not for profit organization.
       Bahkan di banyak negara, berbagai asuransi kesehatan sukarelapun, baik sebagai suplemen atau komplemen (pelengkap) asuransi wajib dikelola secara nirlaba. Coheur (2008) menjelaskan bahwa penyelenggaraan skema tersebut mempunyai karakter (1) solidaritas sosial dengan membayar kontribusi/iuran, (2) tidak ada pemegang saham dan tidak ada laba yang dibagikan sebagai dividen. Seluruh dana yang terkumpul dikelola dan diinvestasi tetapi seluruh hasil investasi digunakan untuk melayani peserta atau diinvestasikan kembali. (3) manajemen yang bebas dari keterikatan dengan lembaga lain, demoktratik, dan participatory. Pengambilan keputusan dilakukan melalui perwakilan (di Indonesia disebut Wali Amanat) peserta berdasar "one man one vote", tidak berdasar besaran iuran. (4) Otonomi manajemen. Bentuk organisiasi ini sudah lama dikenal di Eropa sejak abad pertengahan dengan istilah “mutual benefit societies” Organisasi nirlaba ini dapat dibentuk berdasarkan ikatan persaudaraan keagamaan (brotherhoods, ikhwan), ekonomi (guilds, corporations) atau sosial (trade guilds).
            Sesungguhnya prinsip yang sama jiga dikenal di Indonesia seperti arisan, jumputan, Subak (Bali), dll. Hanya saja, bentuk organisasi tradisional berlandaskan prinsip yang sama dengan yang ada di Eropa, tidak pernah diakui dan dikembangkan oleh Pemerintah di Indonesia. Bahkan, banyak ahli hukum privat yang cendrung menapikan (mengganggap tidak ada) organisasi tersebut dan karenanya setiap usul pembentukan badan baru BPJS sampai saat ini masih kandas dengan dalih kita belum punya trustee law seperti di negara-negara Eropa. Sesungguhnya, tanpa mereka sadari, UU 11/92 telah membentuk badan hukum Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) sebagai badan hukum nirlaba mirip dengan BPJS yang diharapkan oleh UU SJSN. Hanya saja, DPLK bukanlah badan asuransi sosial karena sifat pendanaannya yang sukarela. Juga kita kenal UU Bank Indonesia yang menetapkan Bank Indonesia sebagai badan hukum khusus nirlaba yang dibentuk dengan UU, yang hanya satu-satunya, yang bukan BUMN bukan pula Perseroan Terbatas. Badan khusus Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang merupakan transformasi dari BUMN pengelola ekspor juga merupakan badan khusus yang dibentuk dengan Undang-Undang. Baru saja kita kenal Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang juga badan hukum nirlaba, yang diatur dalam UU BHP. Bedanya, sebuah BHP tidak dibentuk dengan UU, hanya diatur dalam UU BHP sebagaimana sebuah PT tidak dibentuk dengan UU tetapi diatur dalam UU 40/2007. Jadi, penolakan pihak-pihak yang tidak ingin keempat BUMN berubah menjadi BPJS yang dibentuk dengan UU sesuai amanat UU SJSN, sesungguhnya bukan karena secara hukum positif Indonesia tidak dimungkinkan. Alasan itu diajukan untuk mempertahankan status quo. Sayangnya, banyak pejabat Indonesia yang tidak memahami konsep ini sehingga pejabat yang punya kewenangan menentukan tidak mengambil keputusan yang terbaik untuk rakyat.
            Hal lain yang sering mendapat kritik di Indonesia adalah pemahaman asuransi yang kaku dan sempit sebagaimana asuransi komersial. Kritik yang sering dilontarkan ketika program Askeskin masih dikelola sepenuhnya oleh PT Askes adalah bahwa Askeskin bukan asuransi karena PT Askes tidak menanggung risiko. Memang konsep awal asuransi (komersial) adalah risk transfer. Dengan membeli polis asuransi, maka pemegang polis melimpahkan risiko (sesuai dengan skala manfaat yang dijanjikan) kepada asuradur. Setelah menerima transfer risiko, maka asuradur harus menanggung semua risiko yang diperjajikan. Tetapi sering dilupakan bahwa asuradur juga berhak atas laba/keuntungan yang dihasilkan dari transfer risiko. Ini prinsip for profit, mencari laba untuk pemegang saham. Asuradur menanggung risiko, jika klaim lebih besar dari yang diprediksi oleh asuradur sendiri, tetapi juga (imbalannya) asuradur berhak atas surplus atau klaim yang lebih kecil dari yang diprediksinya. Adil!!. Oleh karena itu, asuradur akan menetapkan tarif premi yang sepadan. Asuradurlah yang menetapkan premi.
            Dalam asuransi sosial, prinsip utamanya bukan full risk-transfer dalam setting bisnis spekulasi bagi pemegang saham atau pengusaha tetapi solidaritas sosial (gotong royong) menyediakan manfaat maksimal bagi peserta. Manajemennya menggunakan prinsip asuransi. Karena tujuan utamanya solidaritas sosial, maka mekanisme ini disebut asuransi sosial. Prinsip lanjutannya adalah nirlaba. Karena ciri utama asuransi sosial adalah kewajiban berkontribusi bagi yang memiliki penghasilan diatas batas tertentu (dalam hukum perpajakan dikenal PTKP, penghasilan tidak kena pajak), maka pengelolaannya tidak bisa disamakan dengan asuransi komersial yang bersifat sukarela. Dalam asuransi sosial, premi (iuran/kontribusi) ditetapkan oleh undang-undang atau peraturan pemerintah, bukan oleh asuradur. Oleh karenanya, sangatlah wajar jika asuradur tidak menanggung risiko. Siapa yang harus menangggung jika ada defisit?. Dalam konsep asuransi sosial, tidak ada pemegang saham yang akan mendapat dividen jika ada laba dan harus menanggung kerugian jika terjadi risiko yang lebih besar (defisit). Pemegang sahamnya adalah seluruh peserta. Maka jika ada surplus atau laba, surplus itu harus dikembalikan kepada peserta (members) dalam bentuk manfaat yang baik atau diivestasikan lagi untuk kepentingan peserta di masa datang. Atau skema manfaat diubah dengan meningkatkan manfaat atau mengurangi iuran. Jika ada “kerugian” atau defisit karena klaim lebih besar dari yang diperhitungkan, maka pemegang saham (peserta) harus menanggung bersama. Biasanya dilakukan dengan menaikan iuran di kemudian hari dalam sistem Bismark (asuransi sosial). Prinsip tersebut sama dengan prinsip anggaran belanja negara. Jika ada surplus, maka surplus diluncurkan untuk tahun berikutnya dan jika ada defisit maka dicari sumber tambahan, apakah menjual aset negara atau menaikan pajak dalam sistem Beveridge, semua dijamin Pemerintah (Henke and Schreyögg, 2005).
         Dengan prinsip yang sama, di banyak negara Pemerintah membayar, menanggung sebagian dana (misalnya di Taiwan seluruh biaya operasional dibebankan kepada anggaran negara, bukan pengelola JKN), atau memberi subsidi (jika BPJS merupakan badan hukum terpisah dari Pemerintahan). Selain dana dari Pemerintah untuk biaya operasional, subsidi iuran bagi penduduk di sektor formal atau informal, Pemerintah juga membayar iuran penuh bagi penduduk di bawah garis pendapatan tertentu (semacam PTKP dalam UU Perpajakan). Ini merupakan praktik yang lazim (ISSA, 2007). Konsep “iuran bagi penduduk miskin dan tidak mampu dibayar Pemerintah” dalam UU SJSN merupakan implementasi dari praktik lazim tersebut. Hal ini sering tidak difahami oleh banyak kalangan di Indonesia sehingga kritik tentang Askeskin bukan asuransi sering kita dengar. Dengan prinsip tersebut diatas, maka sering terjadi bahwa JKN dikelola oleh pemerintah atau badan khusus yang dibentuk oleh pemerintah secara nasional sebagai single payer. Bentuk NHI sebagai pembayar tunggal terakhir dapat diamati di Afrika Selatan. Pertimbangan Afrika Selatan memiliki pembayar tunggal adalah untuk meminimalkan biaya administrasi, biaya transaksi iuran maupun pembayaran, mempunyai kekuatan monopsoni, memaksimalkan subsidi silang antar penduduk di seluruh negeri, dan menjamin bahwa amanat konstitusi untuk memenuhi hak sehat seluruh rakyat terpenuhi. Seperti halnya yang diingankan UU SJSN di Indonesia, JKN di Afrika Selatan merupakan sub-sistem dari Sistem Jaminan Sosial untuk Seluruh Rakyat, social security for all (PAU, 2007). Kekuatan monopsoni adalah kekuatan badan JKN sebagai pembayar tunggal menetapkan tarif yang untuk fasilitas kesehatan publik maupun swasta sehingga dengan sendirinya pembayar tunggal akan mampu mengendalikan biaya kesehatan. Tidak ada alasan fasilitas swasta tidak mau menerima pembayaran, karena biaya kesehatan untuk seluruh penduduk hanya dibayar oleh badan JKN tersebut. Kemampuan monopsoni dalam menekan biaya kesehatan dapat diamati antara lain di Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Muangtai, Inggris, Kanada, Australia dan Malaysia. Mereka yang ingin tahu lebih banyak sesungguhnya dapat mencari sumber dari ISSA (International Social Security Association) yang didirikan tahun 1927 yang memiliki anggota 350 organisasi penyelenggara jaminan sosial dari 150 negara (ISSA, 2008).
           Pengelolaan JKN secara nasional dengan pembayar tunggal semakin banyak, meskipun juga semakin kontroversial. Swedia di tahun 2005 juga melakukan perubahan struktural dengan membentuk satu badan khusus publik Social Insurance Agency (Försäkringskassan) yang menggantikan The National Social Insurance Office (Riksförsäkringsverket). Reformasi ini memisahkan pengelolaan badan khusus nirlaba dari pengelolaan langsung oleh Pemerintah (office). Pada tahun 1998, di Australia mempunyai Centrelink yang merupakan sebuah badan publik nirlaba yang bekerja mirip badan hukum privat dengan tujuan meningkatkan efisiensi dan efektifitas. Centrelink meningkatkan efisiensi dan koordinasi dari lima badan (agencies) lain di bawah the Department of Social Services yaitu Health Insurance Commission; Child Support Agency; Health Services Australia; Commonwealth Rehabilitation Services; dan Australian Hearing. Di Slowakia tahun 2004 juga membentuk the Slovakian Social Insurance Agency yang mengelola asuransi sosial jaminan bagi tenaga kerja yang terkena PHK. Sebelumnya program ini dikelola oleh pemerintah yaitu the National Labour Office. China tahun 2005 menggabungkan penyelenggaraan asuransi sosial dan bantuan sosial (mirip juga dengan yang diatur UU SJSN) ke dalam satu struktur badan publik (public enterprises). Tahun 2006 Turki menggabungkan tiga penyelenggara (organisasi) the Pension Fund for Civil Sercants (semacam Taspen di Indonesia), the Social Insurance Institution for Workers (semacam Jamsostek), dan the Social Insurance Organisastion for the Self-Employed (semacam program Jamkesmas) untuk efisiensi, kemudahan dan efektifitas. Selain itu, Turki juga mendirikan sebuah badan Universal Sicknes Insurance Scheme yang menggabungkan berbagai badan penyelenggara yang sebelimnya dibentuk. Hal itu untuk memudahkan bagi penduduk, penyeragaman, efisiensi dan efektifitas. Di Prancis, The French Social Scheme for the Self-Employed (Régime social des independents (RSI)) juga menggabungkan (merger) berbagai skema asuransi sosial dengan memulai administrasi bersama untuk efisiensi dan kemudahan bagi peserta. Hanya saja di Indonesia, penyatuan keempat BUMN menjadi satu badan publik nirlaba mendapat tantangan berat (ISSA, 2007).
            Secara lebih rinci, praktik beberapa penyelenggaraan jaminan sosial di beberapa negara disajikan berikut ini.
Malaysia
       Sebagai negara persemakmuran, sistem jaminan sosial di Malaysia berkembang lebih awal dan lebih pesat dibandingkan dengan perkembangan sistem jaminan sosial di negara lain di Asia Tenggara. Pada tahun 1951 Malaysia sudah memulai program tabungan wajib pegawai untuk menjamin hari tua (employee provident fund, EPF) melalui Ordonansi EPF. Seluruh pegawai swasta dan pegawai negeri yang tidak berhak atas pensiun wajib mengikuti program EPF yang dikelola terpusat, meskipun Malaysia merupakan negara federasi. Ordonansi EPF kemudian diperbaharui menjadi UU EPF pada tahun 1991. Pegawai pemerintah mendapatkan pensiun yang merupakan tunjangan karyawan pemerintah. Selain itu, Malaysia juga memiliki sistem jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat yang dikelola oleh Social Security Organization (SOCSO) (bukan Bhd atau PT di Indonesia) yang dalam bahasa Malaysia disebut Pertubuhan Keselamatan Sosial (PERKESO), yang juga dikelola terpusat oleh pemerintah federal. Dalam pelayanan kesehatan, pemerintah federal Malaysia (Departemen Kesehatan) bertanggung jawab dan mengelola langsung pembiayaan dan penyediaan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma bagi seluruh penduduk. Karena seluruh rakyat sudah mendapat jaminan pelayanan kesehatan gratis, maka jaminan kesehatan tidak masuk dalam sistem jaminan sosial di Malaysia (Kertonegoro, 1998; Roy, 2001).
Filipina
         Filipina memulai pengembangan program Jaminan Sosialnya sejak tahun 1948 akan tetapi UU Jaminan Sosialnya (Republic Act 1161) baru disahkan pada tahun 1954. Dibutuhkan enam tahun sejak ide awal pengembangan jaminan sosial dicetuskan oleh Presiden Manuel A. Roxas di tahun 1948. Namun demikian, UU yang dikeluarkan tahun 1954 tersebut ditolak oleh kalangan bisnis Filipina sehingga dilakukan amendemen UU tersebut dan diundangkan kembali pada tahun 1957. Barulah UU JS tahun 1957 tersebut mulai diterapkan untuk pegawai swasta. Pada tahun 1980 beberapa kelompok pekerja sektor informal atau pekerja mandiri mulai diwajibkan mengikuti program jaminan sosial. Kemudian pada tahun 1992 semua pekerja informal yang menerima penghasilan lebih dari P1.000 (sekitar Rp 200.000) wajib ikut program jaminan sosial. Selanjutnya di tahun 1993 pembantu rumah tangga yang menerima upah lebih dari P1.000 sebulan kemudian juga diwajibkan untuk mengikuti program jaminan sosial. Program Jaminan Sosial tersebut dikenal dengan Social Security System (SS) dan dikelola oleh suatu Badan di bawah Departemen Keuangan. Pada saat ini, SSS mempunyai anggota sebanyak 23,5 juta tenaga kerja atau sekitar 50% dari anggkatan kerja, termasuk diantaranya 4 juta tenaga kerja di sektor informal (Purwanto dan Wibisana, 2002).
    Untuk pegawai negeri, pemerintah Filipina menyelenggarakan program tersendiri yang disebut sebagai Government Service Insurance System (GSIS) yang dimulai lebih awal yaitu di tahun 1936 dan kini memiliki anggota sebanyak 1,4 juta pegawai negeri. Angkatan Bersenjata dan Polisi memiliki sistem jaminan sosial tersendiri yang dibiayai dari anggaran pemerintah. Kedua program jaminan sosial pegawai pemerintah, termasuk tentara, lebih tepat dikatakan sebagai program tunjangan pegawai (employment benefit), karena pendanaan sepenuhnya dari belanja pemerintah, dibandingkan sebagai program jaminan sosial menurut defisini universal. Pada awalnya program jaminan sosial tersebut menyelenggarakan program jaminan hari tua (oldage) kematian, cacat, maternitas, kecelakaan kerja dan kesehatan. GSIS memberikan berbagai pelayanan ekstra, selain pelayanan tersebut, seperti program pemberdayaan ekonomi dan asuransi umum (Purwanto dan Wibisana, 2002; Herrin, 2005).
      Namun demikian, di tahun 1995 Pemerintah Filipina mengeluarkan Undang-Undang Asuransi Kesehatan National (RA7875) yang memisahkan program asuransi kesehatan dari kedua lembaga (SSS dan GSIS) menjadi satu dibawah pengelolaan the Philippine Health Insurance Corporation (PhilHealth), suatu badan publik yang bersifat nirlaba yang dikelola secara terpusat (SSS, 2001). PhilHealth merupakan program Asuransi Kesehatan Nasional yang kini memiliki keanggotaan lebih dari 39 juta jiwa (lebih dari 50% penduduk Filipina). Anggota Philhealth terdiri atas 55% pegawai swasta, 24% pegawai pemerintah, 9% penduduk tidak mampu, 11% peserta sukrela (informal), dan 2% adalah peserta khusus yang tidak membayar iuran. Manfaat yang menjadi hak peserta adalah jaminan rawat inap di rumah sakit pemerintah maupun swasta dengan standar pembayaran yang sama (Dueckue, 2003; Roy, 2001).
Thailand
       Program Jaminan Sosial di Muangtai terdiri atas program jaminan bagi pegawai pemerintah, pegawai swasta, dan program kesehatan bagi penduduk selain pegawai. Program yang diatur oleh UU Jaminan Sosial di Muangtai dimulai pada tahun 1990 ketika Pemerintah Muantai mengeluarkan UU Jaminan Sosial, namun demikian implementasinya baru dimulai enam bulan kemudian, yaitu pada bulan Maret 1991. Dana yang terkumpul dikelola oleh suatu badan tripartit, Dewan Jaminan Sosial, yang terdiri dari 15 orang yang mewakili pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja masing-masing 5 (lima) orang. Kantor Jaminan Sosial (Social Security Office, SSO) berada di bawah Departemen Tenaga Kerja dan Kesejahteraan yang dikelola secara terpusat. Mula-mula program tersebut wajib bagi pemberi kerja dengan 20 karyawan atau lebih, yang kemudian secara bertahap diwajibkan kepada pemberi kerja yang lebih kecil. Sejak 31 Mei 2002, seluruh pemberi kerja dengan satu atau lebih karyawan wajib menjadi peserta. Kini jumlah peserta SSO adalah 6,59 juta tenaga kerja di Muangtai, seluruh tenaga kerja formal telah menjadi peserta. Pegawai pemerintah mendapat jaminan yang dibiayai oleh anggaran belanja negara tanpa ada iuran sama sekali dari pekerja. Jaminan yang ditanggung meliputi jaminan kesehatan (yang disebut program CSMBS), pensiun dan dana lump sum pada waktu memasuki masa pensiun. Untuk pekerja sektor informal dan kelompok penduduk lain yang tidak termasuk peserta SSO atau CSMBS (yang keduanya dikelola secara terpusat), pemerintah Muantai mengembangkan progran National Health Security yang dikenal dengan kebijakan ’30 Baht’ yang dikelola oleh suatu badan otonom di tingkat pusat.
    Dalam program ini, seluruh penduduk sektor informal dan anggota keluarga tenaga kerja swasta diwajibkan mendaftar ke salah satu rumah sakit dimana mereka akan berobat jika mereka sakit. Atas dasar penduduk yang terdaftar itu, pemerintah kemudian membayar rumah sakit dan fasilitas kesehatan lain secara kapitasi sebesar 1.998 Baht (setara Rp 600.000 pada Januari 2009, bandingkan dengan Jamkesmas yang hanya Rp 60.000) per kepala per tahun. Penduduk yang terdaftar akan membayar sebesar 30 Baht sekali berobat atau sekali perawatan di rumah sakit. Biaya yang dibayar itu sudah termasuk segala pemeriksaan, obat, pembedahan, dan perawatan intensif jika diperlukan. Program 30 Baht ini dikelola oleh National Health Security Office, yaitu kantor otonom di bawah Departemen Kesehatan yang berfungsi sentral (terpusat) untuk menjamin keadilan sosial di berbagai wilayah yang berbeda tingkat ekonominya (SSO, 2003; Jongudomsuk, 2004; Tangkorstein, 2005). Awalnya, sejak 2002, setiap penduduk Muangtai yang perlu berobat hanya membayar 30 Baht (setara Rp 10.000 pada Januari 2009) per kali berobat untuk semua layanan (termasuk operasi atau masuk dalam ICU). Tetapi sejak tahun 2008, pembayaran 30 Baht dianggap memberatkan dan menunda rakyat berobat dankarenanya keharusan membayar 30 Baht dihapuskan. Kini rakyat Muangtai tidak perlu membayar lagi ketika berobat, cukup menunjukan kartu peserta elektronik yang dapat dilayani di seluruh negeri Muangtai. Karu ini bekerja online di seluruh negeri (Wonchai, 2009).
Korea Selatan
      Seperti yang dilakukan Jepang, Jerman, dan banyak negara lain di dunia, Korea Selatan memulai jaminan sosialnya dengan mengembangkan asuransi kesehatan wajib di tahun 1976 setelah selama 13 tahun gagal mengembangkan asuransi kesehatan sukarela (swasta). Asuransikesehatan wajib dimulai dari pemberi kerja yang memiliki jumlah pekerja banyak terus diturunkan. Pada tahun 1989 seluruh penduduk sudah memiliki asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh lebih dari 300 lembaga nirlaba. Kini seluruh badan penyelenggara dijadikan satu badan penyelenggara yaitu National Health Insurance Corporation (NHIC) suatu badan publik otonom/independen nirlaba dengan cakupan praktis seluruh penduduk (Park, 2002). Sedangkan jaminan pensiun atau hari tua baru dilaksanakan 1988 dengan wewajibkan pemberi kerja dengan 10 karyawan atau lebih mengiur untuk jaminan pensiun. Baru pada tahun 2003 ini, seluruh pemberi kerja dengan satu atau lebih pegawai diwajibkan ikut program pensiun yang dikelola oleh National Pension Corporation (NPC), juga sebuah badan publik yang tidak diatur atau dikecualikan dari peraturan hukum privat (hukum perushaan/PT). Kedua lembaga NHIC dan NPC, dua badan nirlaba bersekala nasional berada di bawah pengawasan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan yang dikelola terpusat. Tidak ada badan lain yang diberikan wewenang untuk mengelola program jaminan sosial yang bertujuan menjamin keadilan sosial tersebut. Berbeda dengan NHIC yang mengelola seluruh penduduk, kecuali militer aktif dan penduduk miskin yang hanya berjumlah 3% dari seluruh penduduk, NPC hanya mengelola pensiun bagi pegawai swasta dan sektor informal. Pensiun untuk pegawai pemerintah, tentara, guru sekolah, pekerja tambang, dan petani dikelola terpisah dari NPC (Ha-Young and Hun-Sang, 2003; Yang, 2005).  Pada saat ini seluruh penduduk Korea Selatan sudah mendapat jaminan kesehatan dan jaminan pensiun dari dua badan nasional tersebut.
Perancis
  Jaminan sosial di Perancis telah diselenggarakan lebih dari satu abad yang diawali dengan jaminan kesehatan. Jaminan sosial pertama dilaksanakan pada tahun 1898 tatkala Perancis masih didominasi oleh ekonomi pertanian. Pada saat ini sistem jaminan sosial di Perancis masih diselenggarakan oleh berbagai badan penyelenggara yang berbagai kelompok peserta seperti pegawai negeri, pekerja swasta, petani, pekerja sektor informal dan tentara. Program jaminan sosial mencakup program jaminan kesehatan (di Perancis dikenal dengan nama CNAM), jaminan pensiun atau hari tua (di Perancis dikenal dengan nama CNAV), jaminan pembiyaaan keluarga (di Perancis dikenal dengan nama CNAF), dan jaminan perlindungan PHK (di Perancis dikenal dengan nama ARE). Program tersebut merupakan program jaminan dasar. Pengumpulan iuran dilakukan secara terpadu dan terpusat oleh semacam Badan Administrasi yang disebut ACOSS. Selain program jaminan dasar, masih ada program jaminan tambahan yang juga bersifat wajib untuk berbagai sektor.
    Berbeda dengan program jaminan sosial di banyak negara lain, di Perancis pembiyaan jaminan sosial lebih banyak bersumber dari pemberi kerja. Untuk program kesehatan, kecelakaan, dan cacat; pekerja hanya mengiur sebesar 2,45% dari upah sedangkan pemberi kerja mengiur sebesar 18,2%. Sementara untuk program pensiun, pekerja mengiur 6,55% sedangkan pemberi kerja mengiur sebesar 8,2%. Secara keseluruhan, pekerja mengiur sebesar 9% dan pemberi kerja mengiur sebesar 26,4% sehingga seluruh iuran menjadi 35,4% dari upah sebulan.
Jerman
        Jerman dikenal sebagai pelopor dalam bidang asuransi sosial yang merupakan dasar dari sistem jaminan sosial modern. Asuransi sosial pertama yang diselenggarakan di Jerman pada tahun 1883 menanggung penghasilan yang hilang apabila seorang pekerja menderita sakit. Sehingga dengan demikian, asuransi sosial kesehatan menjadi pintu gerbang penyelenggaraan berbagai program jaminan sosial sesuai dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948. Undang-undang mengatur tata cara penyelenggaraan asuransi kesehatan sedangkan penyelenggaraan asuransi kesehatan diserahkan kepada masyarakat, yang awalnya terkait dengan tempat kerja. Jumlah badan penyelenggara yang disebut sickness funds tidak dibatasi sehingga pada awalnya mencapai ribuan jumlahnya, yang semuanya bersifat nirlaba. Banyaknya jumlah badan penyelenggara menyebabkan penyelenggaraan jaminan sosial di Jerman menjadi tidak efisien dan mahal. Namun demikian, karena rumitnya masalah asuransi kesehatan dan perlunya angka besar untuk menjamin kecukupan dana, maka terjadi merjer atau perpindahan peserta karena badan penyelenggara bangkrut. Jika dulu jumlahnya mencapai 5.000 lebih, kini jumlahnya tinggal 200an saja. Proses penggabungan atau mati karena bangkrut berlangsung alamiah untuk efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan.
    Sistem yang digunakan Jerman adalah dengan mewajibkan penduduk yang memiliki upah di bawah 45.900 Euro per tahun untuk mengikuti program asuransi sosial wajib. Sedangkan mereka yang berpenghasilan diatas itu, boleh membeli asuransi kesehatan dari perusahaan swasta, akan tetapi sekali pilihan itu diambil, ia harus seterusnya membeli asuransi kesehatan swasta. Akibatnya, banyak orang yang berpenghasilan diatas batas tersebutpun, memiliki ikut asuransi sosial. Pada saat ini 99,8% penduduk memiliki asuransi kesehatan dan hanya 8,9% yang mengambil asuransi kesehatan swasta. Sebagian kecil penduduk (seperti militer dan penduduk sangat miskin) mendapat jaminan kesehatan melalui program khusus (Grebe, A. 2003; Ruckert, 2002).
Australia
     Sistem jaminan sosial di Australia dimulai dengan sistem negara kesejahteraan dimana negara menanggung segala beban sosial seperti bantuan sosial bagi lansia (semacam uang pensiun). Sejak didirikannya Australia tahun 1901, Australia menjalankan sistem jaminan sosialnya melalui program bantuan sosial (pilar pertama dalam sistem Australia). Sampai dengan awal tahun 70an, penduduk yang memasuki usia pensiun dan memiliki penghasilan dan aset di bawah jumlah tertentu mendapat uang pensiun otomatis dari pemerintah. Karena sifatnya bantuan sosial, maka tidak semua penduduk berhak mendapatkan dana pemerintah yang dikumpulkan dari pajak umum (general tax revenue). Oleh karenanya pemerintah mengembangkan instrumen seleksi, means test untuk menentukan siapa-siapa yang berhak mendapatkan bantuan sosial hari tua. Sedangkan jaminan kesehatan sudah menjadi hak setiap penduduk yang pendanaanya dibiayai dari dana pajak. Baru pada tahun 1973 dirasakan perlunya mengembangkan asuransi kesehatan wajib dan pada tahun 1983 dirasakan perlunya asuransi hari tua wajib.
    Praktek jaminan sosial dengan sistem asuransi wajib atau asuransi sosial baru diterapkan sepenuhnya sejak tahun 1992 yang pada waktu itu, sekitar 40% pekerja memiliki asuransi hari tua. Pada tahun 2001, dengan program asuransi sosial, maka sudah 97% pekerja tetap telah menjadi peserta. Pada tahun 2001, 65% penduduk lansia menerima pensiun (Age Pension) dari sistem asuransi wajib yang dikenal dengan superannuation. Pengelolaan jaminan sosial wajib dikelola oleh Pemerintah Federal dan berada di bawah koordinasi Menteri Keuangan dan Administrasi, kecuali untuk angkatan bersenjata yang berada di bawah koordinasi Departemen Urusan Veteran. Investasi dana jaminan sosial (non kesehatan) dikelola oleh lembaga swasta pengelola dana yang berada di bawah pengawasan Departemen Keuangan. Sedangkan untuk asuransi kesehatan program jaminan sosial kesehatan (Medicare) dikelola oleh satu lembaga yang bersifat independen dan tunggal bersekala nasional dibawah supervisi Health Insurance Commissioner HIC) didalam koordinasi Departemen Kesehatan dan Pelayanan Orang Tua. Program asuransi kesehatan tidak membedakan kelompok pekerjaan karena semua pegawai swasta atau pemerintah menjadi peserta Medicare yang dikelola HIC. Pegawai swasta yang ingin mendapatkan pelayanan lebih baik dapat mendaftarkan diri pada asuransi keseahatan swasta dibawah koordinasi Medibank Private Insurance (MPI).
Amerika Serikat
        Jaminan sosial di Amerika pertama kali diundangkan pada tanggal 14 Agustus 1935 yang pada awalnya dikenal dengan naman OASDI program (Old-Age, Survivors, and Disability Insurance). Undang-undang jaminan sosial tersebut disetujui setelah terjadinya depresi ekonomi di Amerika di awal tahun 1930an. Awalnya, UU jaminan sosial Amerika tidak mencakup asuransi sosial kesehatan (Medicare). Program Medicare dalam sistem jaminan sosial di Amerika baru masuk 30 tahun kemudian, yaitu di tahun 1965 sehingga nama lain kini dikenal dengan OASDHI (Old-Age, Survivors, Disability and Health Insurance). Program OASDI, tanpa kesehatan, pada hakikatnya mirip dengan program pensiun kita dimana peserta memperoleh manfaat uang tunai ketika mencapai usia pensiun, ahli waris peserta yang memenuhi syarat menerima manfaat jika peserta meninggal, dan apabila peserta menderita cacat.
      Menjelang UU Jaminan Sosial di Amerika diberlakukan, usulan untuk membuat program ini sukarela juga sudah diajukan dengan alasan pelanggaran atas hak kebebasan Namun demikian, pilihan tersebut tidak diadopsi dalam UU karena bukti-bukti menunjukkan bahwa program sukarela tidak efektif. Sebenarnya Amerika termasuk terbelakang dalam mengembangkan jaminan sosialnya dibandingkan dengan Jerman dan Inggris (Rejda). Sistem Jaminan Sosial di Amerika diselenggarakan dengan satu undang-undang dan diselenggarakan olah satu badan pemerintah (Social Security Administration, SSA) yang bersifat nasional dan dikelola oleh pemerintah Federal yang berada di bawah Departemen Pelayanan Sosial. Untuk itu, setiap penduduk harus memiliki nomor jaminan sosial (9 digit) Social Security Number (SSN) yang berlaku untuk segala macam urusan seperti sebagai nomor pajak, kartu SIM, bersekolah, menjadi nasabah bank, dan berbagai urusan kehidupan lain (Butler, 1999; Henderson, 2002; Zweifel, 2000).
      Di Amerika, SSN menjadi Identitas Nasional yang menjadi identitas unik bagi setiap penduduk, bukan hanya warga negara. Dengan SSN, semua penduduk mengurus paspor, rekening bank, pekerjaan, pendidikan, pajak, jaminan sosial, dan sebagainya. Dengan demikian, program Jaminan Sosial Amerika bersifat monopolistik di tingkat Nasional dan mencakup jaminan hari tua dan jaminan kesehatan. Seluruh penduduk, apakah ia pegawai swasta maupun pegawai pemerintah harus masuk program jaminan sosial sehingga perpindahan pekerja dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain atau dari satu negara bagian ke negara bagian lain tidak menjadi masalah. Jika ada yang berargumen bahwa Amerika adalah negara maju yang memiliki teknologi tinggi sehingga penyelenggaraan nasional itu bisa berjalan baik, sementara kita Indonesia masih jauh, maka orang tersebut berfikiran pendek. Ia tidak memahami bahwa Amerika sudah menjalan sistem jaminan sosial seperti itu sejak tahun 1935, meskipun kesehatan baru masuk tahun 1965 (Almgren, 2007, Wynia dan Shcwab, 2007). Ketika itu, keadaan ekonomi, teknologi, politik, dsb di Amerika jauh lebih jelek dari keadaan ekonomi, sosial, teknologi, dan politik kita di Indonesia sekarang ini.

Daftar Pustaka
Almgren, G. 2007. Health Care Politics, Policy, and Services: A Social Justice Analysis. Springer Puublishing Company: New York.
Butler, R. 1999. The Economic of Social Insurance and Employee Benefits. Kluwer Academic Publishers: Boston.
Coheur. 2008. The state of development of private non-profit social protection organizations. ISSA: Geneva.
Dueckue, P. PhilHealth today. Makalah. Disampaikan pada Loka Karya Social Health Insurance di Asia Tenggara. Bangkok, 3-6 Juli 2003.
Grebe, A. Social Security System in Germany. Presentasi. Di depan Delegasi Indonesia di Jerman, Juni 2003
Ha-Young and Hun-Sang. National Pension Scheme in Korea. Makalah. Disajikan dalam ISSA Training, Bali, 13-22 Oktober 2003.
Henderson, J. 2002. Health Economics and Policy. South-Western: Australia.
Henke KD and Schreyögg J. 2005. Strategies in health insurance schemes in France, Germany, Japan and The Netherlands: A comparative study. 2nd Ed. ISSA.
Herrin, Alejandro. 2005. The Phillippines. Dalam Sein, Than; Bayarsaikhan, Dorjsuren; Rin, Aviva. Social Health Insurance: Selected Case Studies from Asia and the Pacific. WHO. New Delhi dan Manila.
ISSA, 2008. ISSA Annual Review 2007-2008. P1: Geneva.
ISSA, 2007. World Social Security Forum 29th Issa General Assembly. Developments And Trends Supporting Dynamic Social Security: Geneva.
Jongudomsuk, P. Achieving. Universal Coverage Of Health Care In Thailand Through 30 Baht Scheme. Bangkok, September 2004.
Kertonegoro, S. Sistem dan Program Jaminan Sosial di Negara-negara ASEAN. Yayasan Tenaga Kerja Indonesia: Jakarta.
Park Yang. National Health Insurance in Korea. Makalah. Disajikan pada delegasi Indonesia ke Korea, Juli 2003.
Purwanto, E dan Wibisana, W. 2002. Laporan Studi Banding Jaminan Sosial di Filipina.
Roy, Charlotte. 2001. New Management Practices in Social Security. Dalam Hoskins, Dalmer; Dobbernack, Donate dan Kupstsch Christine (Editor). Social Security at the Dawn of the 21st Century. Transactions Publisher. New Jersey: USA.
Ruckert, Paul. Statutory Health Insurance in Germany. Makalah. Disajikan pada Asia Pacific Summit on Health Insurance. Jakarta, 22-24 Mei 2002.
Schieber G, Baeza C, Kress D, and Maier M. 2006. Financing Health Systems in the 21st Century. Dalam Disease Control Priorities in Developing Countries. 2nd Edition. Ed Jamison et al. A copublication of Oxford University Press and The World Bank. Washington DC.
SSO. Social Security System in Thailand and Its Prospect for the Future. Bahan Perensentasi, Bangkok, 2003
Tangkorstein, Viroj. Thailand Health Care System. WHO Expert Meeting. Manila, March 4-6, 2005
Wonchai. Self Care and Health System of Thailand. WHO Regional Meeting on Primary Care, Bangkok, 7-9 Januari 2009.
Wynia MK dan Shcwab AP. 2007. Ensuring Fairness in Health Care Coverage. AMACOM: New York.
Yang, Bong-Min. 2005. Republic of Korea. Dalam Sein ,Than; Bayarsaikhan, Dorjsuren; Rin, Aviva. Social Health Insurance: Selected Case Studies from Asia and the Pacific. WHO. New Delhi dan Manila.
Zweifel, Peter. 2000. The Division of Labot Between Private and Social Insurance. Dalam Dionne, Geogrges. Hand Book of Insurance. Kluwer Academic Publishers: Boston.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar dengan Bijak